Shima atau Ratu Shima adalah nama penguasa Kerajaan Kalingga, yang pernah berdiri pada milenium pertama di Jawa.Pada
masa pemerntahan Ratu Shima,Kerajaan Kalingga menggapai masa
kejayaannya. Tidak banyak diketahui tentangnya, kecuali bahwa ia sangat
tegas dalam memimpin dengan memberlakukan hukum potong tangan bagi
pencuri. Salah satu korbannya adalah keluarganya sendiri.
Syahdan, Kerajaan Kalingga, Nagari di pantura (pantai utara Jawa, sekarang di Keling, Kelet, Jepara,
Jateng) beratus masa berlampau, bersinar terang emas,penuh kejayaan.
Bersimaharatulah, Ratu Shima, nan ayu, anggun, perwira, ketegasannya
semerbak wangi di antero nagari nusantara.
Sungguh, meski jargon kesetaraan Gender belum jadi wacana saat itu.
Namun pamor Ratu Shima memimpin kerajaannya luar biasa, amat dicintai
jelata, wong cilik sampai lingkaran elit kekuasaan. Kebijakannya mewangi
kesturi, membuat gentar para perompak laut. Alkisah tak ada nagari yang
berani berhadap muka dengan Kerajaan Kalingga, apalagi menantang Ratu
Shima nan perkasa. bak Srikandi, sang Ratu Panah.
Konon, Ratu Shima, justru amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa
wong cilik juga para pejabat mahapatih, patih, mahamenteri, dan
menteri,hulubalang, jagabaya, jagatirta, ulu-ulu, pun segenap pimpinan
divisi kerajaan sampai tukang istal kuda, alias pengganti tapal kuda,
kuda-kuda tunggang kesayangannya, tak ada yang berani menentang sabda
pandita ratunya. Sekali waktu, Ratu Shima menguji kesetiaan lingkaran
elitnya dengan me-mutasi, dan me-Non Job-kan pejabat penting di
lingkunganb Istana. Namun puluhan pejabat yang mendapat mutasi ditempat
yang tak diharap, maupun yang di-Non Job-kan, tak ada yang mengeluh
barang sepatah kata. Semua bersyukur, kebijakan Ratu Shima sebetapapun
memojokkannya, dianggap memberi barokah, titah titisan Sang Hyang Maha
Wenang.
Tak puas dengan sikap "setia" lingkaran dalamnya, Ratu Shima, sekali
lagi menguji kesetiaan wong cilik, pemilik sah Kerajaan Kalingga dengan
menghamparkan emas permata, perhiasan yang tak ternilai harganya di
perempatan alun-alun dekat Istana tanpa penjagaan sama sekali. Kata Ratu
Shima,"Segala macam perhiasan persembahan bagi Dewata agung ini jangan
ada yang berani mencuri, siapa berani mencuri akan memanggil bala kutuk
bagi Nagari Kalingga, karenanya, siapapun pencuri itu akan dipotong
tangannya tanpa ampun!". Sontak Wong cilik dan lingkungan elit istana,
bergetar hatinya, mereka benar-benar takut. Tak ada yang berani
menjamah, hingga hari ke 40. Ratu Shima sempat bahagia.
Namun malang tak dapat ditolak. Esok harinya semua perhiasan itu
lenyap tanpa bekas. Amarah menggejolak di hati sang penguasa Kalingga.
Segera dititahkan para telik sandi mengusut wong cilik yang mungkin saja
jadi maling di sekitar lokasi persembahan, sementara di Istana dibentuk
Pansus,Panitia Khusus yang menguji para pejabat istana yang mendapat
mutasi apes, atau yang Non Job diperiksa tuntas. Namun setelah diperiksa
dengan seksama. Berpuluh laksa wong cilik tak ada yang pantas dicurigai
sebagai pelaku, sementara pejabat istana pun berbondong, bersembah
sujud, bersumpah setia kepada Ratu Shima. Mereka rela menyerahkan
jiwanya apabila terbukti mencuri. Ratu Shima kehabisan akal.
Saat itu, Tukang istal kuda, takut-takut menghadap, badannya gemetar,
matanya jelalatan melihat kiri kanan, amat ketakutan. "Maaf Tuanku Yang
Mulia Ratu Agung Shima, perkenankan hamba memberi kesaksian, hamba
bersedia mati untuk menyampaikan kebenaran ini. Hamba adalah saksi mata
tunggal. Malam itu hamba menyaksikan Putra Mahkota mengambil diam-diam
seluruh perhiasan persembahan itu. Maaf…," sujud sang tukang istal muda
belia, mukanya seperti terbenam di lantai istana. "Apa, Putra Mahkota
mencuri?!" Ratu Shima terperanjat bukan kepalang. Mukanya merah padam..
"Putraku, jawab dengan jujur, pakai nuranimu, benar apa yang dikatakan
wong cilik dari kandang kuda ini?", tanya sang ibu menahan getar. Sang
Putra Mahkota tiada menjawab, ia hanya mengangguk, lalu menunduk teramat
malu. Ia mengharap belas kasih sang ibu yang membesarkannya dari kecil.
Sejenak istana teramat sunyi, hanya bunyi nafas yang terdengar, dan
daun-daun jati emas yang jatuh luruh ke tanah."Prajurit, Demi tegaknya
hukum, dan menjauhkan nagari Kalingga dari kutukan dewata, potong tangan
Putra Mahkotaku, sekaramg juga…," perintah Sang Ratu Shima dengan muka
keras. Seluruh penghuni istana dan rakyat jelata yang berlutut hingga
alun-alun merintih memohon ampun, namun Sang Ratu tiada bergeming dari
keputusannya. Hukuman tetap dilaksankana. Hal itu dituliskan dengan
jelas di Prasasti Kalingga, yang masih bisa dilihat hingga kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar