zona waktu
Selasa, 24 Agustus 2010
Sanca kembang
Sanca kembang
adalah sejenis ular
tak berbisa yang
berukuran besar.
Ukuran terbesarnya
dikatakan dapat
melebihi 10 meter.
Lebih panjang dari
anakonda
(Eunectes), ular
terbesar dan
terpanjang di
Amerika Selatan.
Nama-nama lainnya
adalah ular sanca;
ular sawah; sawah-
n-etem ( Simeulue);
ular petola (Ambon);
dan dalam bahasa
Inggris reticulated
python atau kerap
disingkat retics,Sanca kembang ini
mudah dikenali
karena umumnya
bertubuh besar.
Keluarga sanca
(Pythonidae) relatif
mudah dibedakan
dari ular-ular lain
dengan melihat sisik-
sisik dorsalnya yang
lebih dari 45 deret,
dan sisik-sisik
ventralnya yang
lebih sempit dari
lebar sisi bawah
tubuhnya. Di
Indonesia barat, ada
lima spesiesnya: tiga
spesies bertubuh
gendut pendek yakni
kelompok ular
peraca (Python
curtus group: P.
curtus, P.
brongersmai dan P.
breitensteini) di
Sumatra, Kalimantan
dan Semenanjung
Malaya,Dua spesies yang lain
bertubuh relatif
panjang, pejal
berotot: P. molurus
( sanca bodo) dan P.
reticulatus. Kedua-
duanya menyebar
dari Asia hingga
Sunda Besar,
termasuk Jawa. P.
molurus memiliki
pola kembangan
yang berbeda dari
reticulatus, terutama
dengan adanya pola
V besar berwarna
gelap di atas
kepalanya. Sanca
kembang memiliki
pola lingkaran-
lingkaran besar
berbentuk jala
(reticula, jala),
tersusun dari warna-
warna hitam,
kecoklatan, kuning
dan putih di
sepanjang sisi dorsal
tubuhnya. Satu garis
hitam tipis berjalan
di atas kepala dari
moncong hingga
tengkuk, menyerupai
garis tengah yang
membagi dua kanan
kiri kepala secara
simetris. Dan
masing-masing satu
garis hitam lain yang
lebih tebal berada di
tiap sisi kepala,
melewati mata ke
belakang.
Sisik-sisik dorsal
(punggung) tersusun
dalam 70-80 deret;
sisik-sisik ventral
(perut) sebanyak
297-332 buah, dari
bawah leher hingga
ke anus; sisik
subkaudal (sisi
bawah ekor) 75-102
pasang. Perisai
rostral (sisik di ujung
moncong) dan empat
perisai supralabial
(sisik-sisik di bibir
atas) terdepan
memiliki lekuk
lubang penghidu
bahang (heat sensor
pits) yang dalam
Shima atau Ratu Shima
Shima atau Ratu Shima adalah nama penguasa Kerajaan Kalingga, yang pernah berdiri pada milenium pertama di Jawa.Pada
masa pemerntahan Ratu Shima,Kerajaan Kalingga menggapai masa
kejayaannya. Tidak banyak diketahui tentangnya, kecuali bahwa ia sangat
tegas dalam memimpin dengan memberlakukan hukum potong tangan bagi
pencuri. Salah satu korbannya adalah keluarganya sendiri.
Syahdan, Kerajaan Kalingga, Nagari di pantura (pantai utara Jawa, sekarang di Keling, Kelet, Jepara, Jateng) beratus masa berlampau, bersinar terang emas,penuh kejayaan. Bersimaharatulah, Ratu Shima, nan ayu, anggun, perwira, ketegasannya semerbak wangi di antero nagari nusantara. Sungguh, meski jargon kesetaraan Gender belum jadi wacana saat itu. Namun pamor Ratu Shima memimpin kerajaannya luar biasa, amat dicintai jelata, wong cilik sampai lingkaran elit kekuasaan. Kebijakannya mewangi kesturi, membuat gentar para perompak laut. Alkisah tak ada nagari yang berani berhadap muka dengan Kerajaan Kalingga, apalagi menantang Ratu Shima nan perkasa. bak Srikandi, sang Ratu Panah.
Konon, Ratu Shima, justru amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa wong cilik juga para pejabat mahapatih, patih, mahamenteri, dan menteri,hulubalang, jagabaya, jagatirta, ulu-ulu, pun segenap pimpinan divisi kerajaan sampai tukang istal kuda, alias pengganti tapal kuda, kuda-kuda tunggang kesayangannya, tak ada yang berani menentang sabda pandita ratunya. Sekali waktu, Ratu Shima menguji kesetiaan lingkaran elitnya dengan me-mutasi, dan me-Non Job-kan pejabat penting di lingkunganb Istana. Namun puluhan pejabat yang mendapat mutasi ditempat yang tak diharap, maupun yang di-Non Job-kan, tak ada yang mengeluh barang sepatah kata. Semua bersyukur, kebijakan Ratu Shima sebetapapun memojokkannya, dianggap memberi barokah, titah titisan Sang Hyang Maha Wenang.
Tak puas dengan sikap "setia" lingkaran dalamnya, Ratu Shima, sekali lagi menguji kesetiaan wong cilik, pemilik sah Kerajaan Kalingga dengan menghamparkan emas permata, perhiasan yang tak ternilai harganya di perempatan alun-alun dekat Istana tanpa penjagaan sama sekali. Kata Ratu Shima,"Segala macam perhiasan persembahan bagi Dewata agung ini jangan ada yang berani mencuri, siapa berani mencuri akan memanggil bala kutuk bagi Nagari Kalingga, karenanya, siapapun pencuri itu akan dipotong tangannya tanpa ampun!". Sontak Wong cilik dan lingkungan elit istana, bergetar hatinya, mereka benar-benar takut. Tak ada yang berani menjamah, hingga hari ke 40. Ratu Shima sempat bahagia.
Namun malang tak dapat ditolak. Esok harinya semua perhiasan itu lenyap tanpa bekas. Amarah menggejolak di hati sang penguasa Kalingga. Segera dititahkan para telik sandi mengusut wong cilik yang mungkin saja jadi maling di sekitar lokasi persembahan, sementara di Istana dibentuk Pansus,Panitia Khusus yang menguji para pejabat istana yang mendapat mutasi apes, atau yang Non Job diperiksa tuntas. Namun setelah diperiksa dengan seksama. Berpuluh laksa wong cilik tak ada yang pantas dicurigai sebagai pelaku, sementara pejabat istana pun berbondong, bersembah sujud, bersumpah setia kepada Ratu Shima. Mereka rela menyerahkan jiwanya apabila terbukti mencuri. Ratu Shima kehabisan akal.
Saat itu, Tukang istal kuda, takut-takut menghadap, badannya gemetar, matanya jelalatan melihat kiri kanan, amat ketakutan. "Maaf Tuanku Yang Mulia Ratu Agung Shima, perkenankan hamba memberi kesaksian, hamba bersedia mati untuk menyampaikan kebenaran ini. Hamba adalah saksi mata tunggal. Malam itu hamba menyaksikan Putra Mahkota mengambil diam-diam seluruh perhiasan persembahan itu. Maaf…," sujud sang tukang istal muda belia, mukanya seperti terbenam di lantai istana. "Apa, Putra Mahkota mencuri?!" Ratu Shima terperanjat bukan kepalang. Mukanya merah padam.. "Putraku, jawab dengan jujur, pakai nuranimu, benar apa yang dikatakan wong cilik dari kandang kuda ini?", tanya sang ibu menahan getar. Sang Putra Mahkota tiada menjawab, ia hanya mengangguk, lalu menunduk teramat malu. Ia mengharap belas kasih sang ibu yang membesarkannya dari kecil.
Sejenak istana teramat sunyi, hanya bunyi nafas yang terdengar, dan daun-daun jati emas yang jatuh luruh ke tanah."Prajurit, Demi tegaknya hukum, dan menjauhkan nagari Kalingga dari kutukan dewata, potong tangan Putra Mahkotaku, sekaramg juga…," perintah Sang Ratu Shima dengan muka keras. Seluruh penghuni istana dan rakyat jelata yang berlutut hingga alun-alun merintih memohon ampun, namun Sang Ratu tiada bergeming dari keputusannya. Hukuman tetap dilaksankana. Hal itu dituliskan dengan jelas di Prasasti Kalingga, yang masih bisa dilihat hingga kini.
Syahdan, Kerajaan Kalingga, Nagari di pantura (pantai utara Jawa, sekarang di Keling, Kelet, Jepara, Jateng) beratus masa berlampau, bersinar terang emas,penuh kejayaan. Bersimaharatulah, Ratu Shima, nan ayu, anggun, perwira, ketegasannya semerbak wangi di antero nagari nusantara. Sungguh, meski jargon kesetaraan Gender belum jadi wacana saat itu. Namun pamor Ratu Shima memimpin kerajaannya luar biasa, amat dicintai jelata, wong cilik sampai lingkaran elit kekuasaan. Kebijakannya mewangi kesturi, membuat gentar para perompak laut. Alkisah tak ada nagari yang berani berhadap muka dengan Kerajaan Kalingga, apalagi menantang Ratu Shima nan perkasa. bak Srikandi, sang Ratu Panah.
Konon, Ratu Shima, justru amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa wong cilik juga para pejabat mahapatih, patih, mahamenteri, dan menteri,hulubalang, jagabaya, jagatirta, ulu-ulu, pun segenap pimpinan divisi kerajaan sampai tukang istal kuda, alias pengganti tapal kuda, kuda-kuda tunggang kesayangannya, tak ada yang berani menentang sabda pandita ratunya. Sekali waktu, Ratu Shima menguji kesetiaan lingkaran elitnya dengan me-mutasi, dan me-Non Job-kan pejabat penting di lingkunganb Istana. Namun puluhan pejabat yang mendapat mutasi ditempat yang tak diharap, maupun yang di-Non Job-kan, tak ada yang mengeluh barang sepatah kata. Semua bersyukur, kebijakan Ratu Shima sebetapapun memojokkannya, dianggap memberi barokah, titah titisan Sang Hyang Maha Wenang.
Tak puas dengan sikap "setia" lingkaran dalamnya, Ratu Shima, sekali lagi menguji kesetiaan wong cilik, pemilik sah Kerajaan Kalingga dengan menghamparkan emas permata, perhiasan yang tak ternilai harganya di perempatan alun-alun dekat Istana tanpa penjagaan sama sekali. Kata Ratu Shima,"Segala macam perhiasan persembahan bagi Dewata agung ini jangan ada yang berani mencuri, siapa berani mencuri akan memanggil bala kutuk bagi Nagari Kalingga, karenanya, siapapun pencuri itu akan dipotong tangannya tanpa ampun!". Sontak Wong cilik dan lingkungan elit istana, bergetar hatinya, mereka benar-benar takut. Tak ada yang berani menjamah, hingga hari ke 40. Ratu Shima sempat bahagia.
Namun malang tak dapat ditolak. Esok harinya semua perhiasan itu lenyap tanpa bekas. Amarah menggejolak di hati sang penguasa Kalingga. Segera dititahkan para telik sandi mengusut wong cilik yang mungkin saja jadi maling di sekitar lokasi persembahan, sementara di Istana dibentuk Pansus,Panitia Khusus yang menguji para pejabat istana yang mendapat mutasi apes, atau yang Non Job diperiksa tuntas. Namun setelah diperiksa dengan seksama. Berpuluh laksa wong cilik tak ada yang pantas dicurigai sebagai pelaku, sementara pejabat istana pun berbondong, bersembah sujud, bersumpah setia kepada Ratu Shima. Mereka rela menyerahkan jiwanya apabila terbukti mencuri. Ratu Shima kehabisan akal.
Saat itu, Tukang istal kuda, takut-takut menghadap, badannya gemetar, matanya jelalatan melihat kiri kanan, amat ketakutan. "Maaf Tuanku Yang Mulia Ratu Agung Shima, perkenankan hamba memberi kesaksian, hamba bersedia mati untuk menyampaikan kebenaran ini. Hamba adalah saksi mata tunggal. Malam itu hamba menyaksikan Putra Mahkota mengambil diam-diam seluruh perhiasan persembahan itu. Maaf…," sujud sang tukang istal muda belia, mukanya seperti terbenam di lantai istana. "Apa, Putra Mahkota mencuri?!" Ratu Shima terperanjat bukan kepalang. Mukanya merah padam.. "Putraku, jawab dengan jujur, pakai nuranimu, benar apa yang dikatakan wong cilik dari kandang kuda ini?", tanya sang ibu menahan getar. Sang Putra Mahkota tiada menjawab, ia hanya mengangguk, lalu menunduk teramat malu. Ia mengharap belas kasih sang ibu yang membesarkannya dari kecil.
Sejenak istana teramat sunyi, hanya bunyi nafas yang terdengar, dan daun-daun jati emas yang jatuh luruh ke tanah."Prajurit, Demi tegaknya hukum, dan menjauhkan nagari Kalingga dari kutukan dewata, potong tangan Putra Mahkotaku, sekaramg juga…," perintah Sang Ratu Shima dengan muka keras. Seluruh penghuni istana dan rakyat jelata yang berlutut hingga alun-alun merintih memohon ampun, namun Sang Ratu tiada bergeming dari keputusannya. Hukuman tetap dilaksankana. Hal itu dituliskan dengan jelas di Prasasti Kalingga, yang masih bisa dilihat hingga kini.
Langganan:
Postingan (Atom)